Wednesday, January 04, 2006

"When Hallaj's love for God reached its utmost limit, he became his own enemy and naughted himself.

He said, "I am Haqq," that is, "I have been annihilated; God remains, nothing else."

This is extreme humility and the utmost limit of servanthood.
It means, "He alone is." To make a false claim and to be proud is to say,
"Thou art God and I am the servant."

For in this way you are affirming your own existence, and duality is the necessary result... Hence God said, "I am God."
Other than He, nothing else existed.

Hallaj had been annihilated, so those were the words of God.

Pharaoh said, "I am God," and became despicable.
Hallaj said "I am Haqq," and was saved.

That "I" brought with it God's curse, but this "I" brought His Mercy, oh friend!
To say "I" at the wrong time is a curse, but to say it at the right time is a mercy.

Without doubt Hallaj's "I" was a mercy, but that of Pharaoh became a curse.
Note this!

(William C. Chittick, Fihi ma Fihi, in 'The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi', pp. 191-193)
Cinta Itu hikmah, ujian, dan bahan baku doa.

Itu sebuah hikmah:

Bahwa tiada yang kekal. Bahkan cinta yang pernah terasa dahsyat, itu pun tidak kekal. Akan ada habisnya, dan akan ada tumbuhnya kembali. Hikmah ini, pada akhirnya, akan mengajarkan satu hal: hanya Allah yang konstan. Allah konstan, sekaligus dinamik. Dia kekal, sekaligus bisa merubah apapun dan kapanpun, sehingga berubah. Pada akhirnya nanti kita akan belajar, bahwa dua kutub yang bertolak belakang, dua hal yang berlawanan, akan menyatu di Dia saja.

Cinta merupakan hak-Nya. Cinta adalah sebuah rasa yang agung, yang indah, dan datang dari Dia, walaupun bisa jadi lewat pintu syahwat dan hawa nafsu. Kita tidak mungkin mengenal cinta ilahiyyah, jika kita tidak tau rasa cinta manusiawi.

Kita bisa mencintai seseorang yang kemudian menjadi pasangan kita, tidak bisa dilogikakan. Kenapa mencintai si A? Kenapa begitu anak kita lahir, tiba-tiba saja tumbuh sebuah rasa cinta baru yang amat sangat kepada anak kita itu? Karena Dia yang menghadirkan rasa itu. Kita bisa mencintai seseorang, karena Dia yang memberikannya. Dia menghadirkan apapun, dan kapanpun, sekehendak-Nya.

Cinta makhluk, membutuhkan dua pihak. Dan supaya cinta ini hidup, keduanya harus serempak. Sebagaimana sayap, mustahil terbang jika tidak serempak. Dalam cinta makhluk, jika penghayatan keduanya berbeda, jika cakrawala pandang berbeda, jika kedalaman perenungannya berbeda, dan pemaknaan cintanya berbeda, kedua cinta tidak akan bertemu. Akhirnya cinta akan mati. Maka dari itu, jika dalam pasangan salah satu tidak berusaha mengimbangi yang lain, atau salah satu tertinggal dalam hal penghayatan cinta maupun kedalaman perenungannya, akan mati. Tapi setiap kematian, akan melahirkan sesuatu yang baru. Demikian pula cinta. Kematian cinta akan melahirkan sesuatu yang lebih tinggi lagi. Bisa jadi cinta yang baru, yang lebih dalam, maupun hikmah. Bisa apa saja.

Itu sebuah ujian:

Bahwa Dia sedang membuat kita merenung sumpah kita dulu ketika menikah. Pasangan kita akan semakin tampak ketidaksempurnaannya. Tapi seharusnya, kita menerimanya apa adanya. Kita pernah bersumpah di akad nikah dulu: kita menerimanya dalam keadaan apapun. Kita bersumpah ‘mengabdi’ pada pasangan, sebagai wujud pembelajaran pengabdian pada Dia. Sempurna ataupun tidak sempurna.

Allah pun demikian. Walaupun Dia Maha Sempurna, ada kalanya Dia tampak tidak sempurna di mata kita yang bodoh ini. Kadang tindakan-Nya menyakitkan kita, kadang menyebalkan kita. Kadang kita tidak memahami-Nya, kadang Dia demikian membingungkan. Kadang cinta kita pada-Nya terkikis. Meski demikian, akankah kita hentikan pengabdian ini kepada-Nya? Apakah kita hanya mau mencintai-Nya, jika Dia memberi imbalan saja? Jika kita mampu merasakan rasa dimanja-Nya saja?

Belajar ‘mengabdi’ (dalam tanda kutip) pada pasangan, pada akhirnya kita akan belajar mengabdi kepada-Nya. Kita berusaha memenuhi hak-hak anak dan istri sebaik-baiknya, seorang istri berusaha memenuhi hak-hak suami dan anak-anaknya sebaik-baiknya pula, maka lambat laun kita akan belajar untuk memenuhi hak-hak Allah sebaik-baiknya.

Itu sebuah bahan baku doa:

Segala sesuatu membutuhkan bahan baku. Kekhusyukan dan rasa fakir kepada-Nya pun membutuhkan bahan baku.

Dia pemilik cinta. Jika kita tidak mampu menumbuhkannya, jika kita tidak lagi memilikinya, akui saja kefakiran kita kepada-Nya. Mintalah, mohonlah. Kita meminta sesuatu yang benar-benar kita butuhkan, dengan demikian kita akan menghasilkan sebuah doa yang original, sebuah doa yang bukan sekedar basa-basi di bibir. Kita akan memohonkan sebuah doa yang kita pahami: bahwa kita membutuhkan rasa itu.

Hentikanlah mengeluh, menyalahkan pasangan kita bahwa dia begini dan begitu, sehingga kita tidak lagi mencintainya. Jika Allah tidak lagi mencintai kita, apakah kita akan menyalahkan-Nya? Lihatlah pada diri kita, bercerminlah. Apa yang kita perbuat, sehingga Dia tidak lagi mencintai kita. Demikian pula dalam hal cinta pada pasangan kita.

Segala sesuatu sampai pada kita, bukan saja diizinkan-Nya, tapi bahkan –dikehendaki-Nya– untuk terjadi. Ini adalah bahan baku perenungan dan permohonan, bukan bahan baku keluhan dan ketidak ikhlasan.

Jika cinta kita pada seseorang terasa semakin hambar, mohonlah untuk disegarkan, ditumbuhkan kembali. Jika kita tidak mencintai Dia, maka mohonlah akan rasa cinta kepada-Nya. Jika kita mencintai yang terlarang, maka mohonlah pula agar syahwat cinta itu dipadamkan.

Segala sesuatu adalah tamu dari-Nya. Tamu datang ke qalb kita sebagai ‘Rasul-Nya’, untuk mengingatkan kita bahwa sebenarnya, disadari maupun tidak, kita membutuhkan Dia. Kita hanya bisa meminta pada Dia.

Artikel aslinya milik Herry. (Punten mas Herry, dikutip nih.)